Senin, 27 April 2009

CALEG PEREMPUAN

CALEG PEREMPUAN
Kompas, 24 Maret 2009

Niat Pemerintah Ditunggu

Jakarta, Kompas – Keputusun Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kebijakan affirmative untuk perempuan melalui kuota 30 persen di parlemen.

Oleh karena itu, calon anggota (caleg) perempuan pun mendesak, dalam hal ini Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, mengupayakan berbagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Desakan itu muncul dalam sarasehan dan temu konsultasi caleg perempuan yang diselenggarakan Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik dan angggota DPD, Mooryati Soedibyo, Senin (23/3) di Jakarta.

Hilangnya payung Hukum bagi kebijakan affiramtif itu membuat posisi caleg perempuan rawan. “Karena payung hukumnya tidak ada, kini tergantung goodwill pemerintah saja. Harus ada kebijakan pemerintah yang mengangkat derajat keterwakilan perempuan. Kini bola bukan di DPR, tetapi pemerintah dan parpol. Mau bagaimana lagi,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Selain pemerintah, parpol juga harus mengawal suara perempuan dengan menetapkan kebijakan yang memberi kesempatan kepada perempuan. Tidak bisa lepas tangan begitu saja. Untuk itu, belasan caleg perempuan yang hadir dalam sarasehan juga mendesak parpol mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada keterwakilan perempuan.

Kami harap parpol membuat kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Contohnya, jika ada penggantian calon terpilih perempuan, seharusnya diganti dengan caleg perempuan yang mendapat suara terbanyak berikutnya, “kata Lena lagi.

Sumarno dari KPU DKI Jakarta mengingatkan, putusan MK akan menyebabkan kanibalisme politik antarcaleg di satu parpol yang sama. Caleg hanya memikirkan diri sendiri.

CATATAN KECIL KARTINI

Dear All,
Berikut ini catatan kecil memperingati hari Kartini 21 April.
Perjuangan untuk meningkatkan derajat keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam area publik (ikut dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan) yang telah dimulai sejak era Kartini dalam perjalanannya banyak mengalami berbagai ujian.
Perjuangan yang telah dilakukan sampai saat ini dengan upaya yang terakhir melalui kebijakan afirmasi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun baru sebatas aturan peningkatan partisipasi perempuan di legislatif dengan disyahkannya UU 2/2008 tentang Parpol dan UU 10/2008 ttg Pemilu, namun juga mampu menginspirasi perjuangan menempatkan perempuan di jabatan-jabatan publik lainnya (di eksekutif dan yudikatif).
Pengesahan kedua undang-undang tersebut menandakan capaian dan kemajuan yang luar biasa terhadap upaya menerapkan affirmasi dalam bentuk kuota 30% keterwakilan di parlemen.
Pasal 55 UU 10/2008 yang erat kaitannya dengan pasal 214 UU 10/2008 yang mengandung kebijakan afirmasi nomor urut yang biasa disebut dengan semi zipper (satu diantara tiga bakal caleg sekurang-kurannya perempuan bakal caleg) adalah untuk memastikan peningkatan jumlah perempuan sampai mencapai angka kritis (critical number) 30% di parlemen. Parpol peserta pemilu menjawab imperasi keterwakilan ini dengan menempatkan perempuan caleg pada nomor urut jadi di dapil-dapil yang berdasarkan Pemilu 2004 akan memperoleh kursi.
Arena persaingan dipersempit melalui seleksi di parpol yang mempunyai wewenang untuk menentukan no urut caleg.Sayangnya, keputusan Mahkamah Konsitusi yang mencabut pasal 214 telah menyebabkan pasal 55 tidak mempunyai arti untuk memastikan keterpilihan perempuan karena kemudian persaingan menjadi terbuka, tidak ada perlindungan.
Arena diperluas karena masyarakat diberi kebebasan untuk memilih para caleg yang sayangnya kebijakan afirmasi tidak bisa "dipaksakan" untuk dipahami oleh masyarakat karena sebagian besar masyarakat tidak memahami kebijakan afirmasi kuota 30%. Karena keputusan MK dibuat mendekati hari pemungutan suara, DPR tidak punya cukup waktu untuk merevisi UU 10/2008 untuk "menyelamatkan" ketentuan afirmasi kuota 30% yang sesungguhnya tidak berhenti di tahap nominasi tapi juga untuk memastikan keterpilihan perempuan sebagaimana termuat di pasal 55.
Yang kemudian juga disayangkan Presiden yang memiliki kewenangan mengeluarkan Perpu untuk menampung ketentuan ini tidak memuat aturan yang mengakomodir kebijakan afirmasi.
Perpu 1/2009 tentang Perubahan UU 10/2008 hanya memuat masalah DPT dan pemberian tanda lebih dari satu kali. Kewenangan untuk mengeluarkan Perpu tidak digunakan untuk mengatur penentuan calon terpilih. Justru hanya ditampung di Peraturan KPU yang sayangnya juga tidak ada aturan yang bisa menyelematkan keberadaan politisi perempuan di parlemen.
Meskipun upaya untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan di parlemen belum sepenuhnya berhasil, namun harapan untuk terus memperjuangkan partisipasi perempuan di area publik tidak boleh putus.
Strategi yang lebih mengena harus disusun dan diupayakan. Semangat dan perjuangan Kartini harus terus dihidupkan sebagai inspirasi yang dapat menyemangati perjuangan persamaan hak-hak perempuan.
Seluruh pemangku kepentingan harus kembali duduk bersama merumuskan kebijakan yang dapat "mengamankan" kuota 30% perempuan di parlemen.
Terima kasih.
Lena

Minggu, 05 April 2009

Meet the candidats: Lena Maryana Hit the Campaign Trail

Jakarta Globe, Sunday April 4, 2009

In a narrow alley in Kali Besar, Central Jakarta, legislative candidate Lena Maryana hands out brochures detailing her vision and mission, as well as the reasons she is running for a seat in the House of Representatives in the April 9 elections.

“Please vote for a candidate who shows genuine concern for people’s welfare and represents public interests,” the 34-year old mother told dozens of Kali Pasir residents, mostly women wearing green headscarves, during a campaign stop last Thursday evening.

“Please don’t accept bribes, including handouts from candidates, because we don’t know where the goods come from,” said Lena, who is running under the Muslim-based United Development Party, or PPP, in the Jakarta II electoral district, which covers Central Jakarta, South Jakarta and overseas voters.

Lena one of the hundreds of women vying for seats in the House of Representatives, or DPR, in next week’s elections, thanks to the election law that requires political parties to allocate at least one-third of their legislative candidate places to women.

The Constitutional Court’s recent ruling that winners of the legislative elections will be determined by the number of valid votes each candidate receives — a first-past-the-post system — now means that female candidates, who are mostly less experienced and poorly funded, will have to push themselves much harder to have a chance at winning.

For example, Lena, who is currently a member of House Commission II, started off Thursday’s campaign with a 10 a.m. stop in Pejompongan, Central Jakarta, followed by an afternoon stint in Petukangan, South Jakarta, before she visited Kali Pasir at around 7:30 p.m.

“I get a lot of mental satisfaction when [the residents] come to understand a bit more about politics and the upcoming elections,” Lena said.

“I’m very happy to share my knowledge with them. I know voter education is very important, especially for working-class people, as their access to the correct information is limited,” Lena told the Jakarta Globe.

She said she wanted to convince people, especially people on low incomes, that casting their votes was important in building democracy in the country.

“I always tell them that casting their ballots is their right as a citizen, not a compulsory chore,” she said. “I also tell them they should carefully choose the candidates because the nation needs the best and most-trusted candidates to build good governance.”

Being a member of a Muslim party that promotes Islamic law, or Shariah , does not prevent Lena from promoting pluralism.

“The people here always react positively to pluralism as they live with it on a daily basis,” she said, adding that Islam also teaches syncretism.


She said she did not have billions of rupiah to spend on her election campaign like some other candidates, but she felt she had more effective ways to manage a good campaign.

“I build good networks within the community and I make sure I personally reply to any questions from voters,” she said, adding that she has a Facebook account and a blog to help her spread the word.

Lena said she was never going to sell her car or house to finance her candidacy, and that her campaign had not cost more than Rp 300 million ($26,100).

“I find leaflets very effective in promoting myself — we printed 60,000 leaflets at a cost of
Rp 300 each,” she said. “I also didn’t use huge banners and prohibited my supporters from sticking my picture on trees.”

Lena said she had deployed some 150 volunteers to go door to door to promote her ideas, adding that those volunteers refused payment as most were members of the Muslim Students Association, an association in which she was active during her college days.

“I don’t go to people’s homes to push them into accepting my campaign ideas, but I’m very happy to go door to door to give them information about politics and the elections,” she said.

Lena also said she was concerned about the participation of women in government.

“The involvement of women in the political world is necessary to improve conditions for women,” she said.

If Lena relies on her reputation as a House member, Dita, one of some 200 activists running
for legislative seats, is counting on her credentials as a labor activist.

Copyright 2009 The Jakarta Globe

Jumat, 27 Maret 2009

CALEG PEREMPUAN

Kompas, 24 Maret 2009

Niat Pemerintah Ditunggu

Jakarta, Kompas – Keputusun Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kebijakan affirmative untuk perempuan melalui kuota 30 persen di parlemen.

Oleh karena itu, calon anggota (caleg) perempuan pun mendesak, dalam hal ini Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, mengupayakan berbagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Desakan itu muncul dalam sarasehan dan temu konsultasi caleg perempuan yang diselenggarakan Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik dan angggota DPD, Mooryati Soedibyo, Senin (23/3) di Jakarta.

Hilangnya payung Hukum bagi kebijakan affiramtif itu membuat posisi caleg perempuan rawan. “Karena payung hukumnya tidak ada, kini tergantung goodwill pemerintah saja. Harus ada kebijakan pemerintah yang mengangkat derajat keterwakilan perempuan. Kini bola bukan di DPR, tetapi pemerintah dan parpol. Mau bagaimana lagi,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Selain pemerintah, parpol juga harus mengawal suara perempuan dengan menetapkan kebijakan yang memberi kesempatan kepada perempuan. Tidak bisa lepas tangan begitu saja. Untuk itu, belasan caleg perempuan yang hadir dalam sarasehan juga mendesak parpol mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada keterwakilan perempuan.

Kami harap parpol membuat kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Contohnya, jika ada penggantian calon terpilih perempuan, seharusnya diganti dengan caleg perempuan yang mendapat suara terbanyak berikutnya, “kata Lena lagi.

Sumarno dari KPU DKI Jakarta mengingatkan, putusan MK akan menyebabkan kanibalisme politik antarcaleg di satu parpol yang sama. Caleg hanya memikirkan diri sendiri.

Sabtu, 07 Maret 2009

KPU "PELESIR KE LUAR NEGERI"

Suara Merdeka, Rabu 4 Maret 2009

Jakarta, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mengagendakan kunjungan ke luar negeri untuk melakukan bimbingan teknis kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri untuk melakukan bimbingan teknis kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di enam negara, yaitu Belgia (Brussell), Kenya(Nairobi), Singapura, Arab Saudi (Jeddah), AS (Los Angeles), dan Korsel (Seoul).

Menurut anggota KPU, Andi Nurpati, agenda tersebut sudah direncanakan jauh-jauh hari. Dengan pembagian Abdul Aziz ke Seoul, Sri Nuryanti ke Nairobi, I Putu Artha ke LA, Syamsul Bahri dan Endang Sulastri ke Jeddah. “Sementara saya akan ke Singapura dan Brussel,” katanya di Gedung KPU, Jakarta, Selasa(3/3).a.
Bimibingan teknis secara langsung kepada PPLN diperlukan agar mereka lebih memahami ketika memberi bimbingan pada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Jadi, hal ini sama seperti bimbingan teknis yang kita berikan kepada KPU Kabupaten/Kota, “ujar Andi.
Dia menegaskan, agenda ke luar negeri tersebut tidak akan mengganggu kinerja KPU meskipun waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin dekat, karena kepergian anggota KPU sudah diatur sehingga minimal lima anggota tetap berada di Jakarta. “Jadi, bila sewaktu-waktu pleno diperlukan tetap bisa dilakukan,”imbuhnya.


Tidak Mendesak
Namun, rencana KPU berkunjung ke luar negeri kembali menuai kecaman. Mantan anggota panitia khusus (pansus) RUU Pemilu, Lena Maryana Mukti mengatakan, kapasitas penyelenggara pemilu di luar negeri jauh lebih baik daripada di dalam negeri, sehingga bimbingan teknis terhadap mereka tidak terlalu mendesak.
“Bukan bermaksud menafikkan pemilih luar negeri. Tapi sudah jelas KPPLSN kapasitasnya jauh lebih baik karena sebagian juga petugas KBRI. Jadi mereka sudah tahu,” paparnya.
Anggota Komisi II DPR RI ini meminta, daripada ke luaarnegeri, akan lebih baik jika anggota KPU melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia, karena minimnya sosialisasi sejumlah aturan akan mendorong potensi konflik yang tinggi di tingkat TPS.
Senada dengan Lena, Direktur Eksecutif Cetro, Hadar Navis Gumay menilai, kepergian KPU ke luar negeri menunujukkan mereka tidak mengetahui prioritas kerja yang harus didahulukan menghadapi pemilu.
“Apalagi, potensi konflik justru lebih tinggi di Tanah Air dibandingkan di luar negeri,”tandasnya.

Selasa, 03 Maret 2009

PROFIL LENA MARYANA

KELUARGA

Lahir di Jakarta, 22 Desember 1962 adalah anak ke-2 dari sepuluh bersaudara pasangan betawi asli H. Muhammad Mukti Emir (pensiunan pegawai Pemda DKI) dan Hj. Suroya. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kawasan Tanah Abang, kampung halaman ayah dan ibunya.

Dari pernikahannya dengan dr. Abraham Andi Padlan Patarai, Mkes, lahir tiga putra-putri tercinta Achmad Raihan, Achmad Gibran dan Adinda Nurul Ramadhani

FIGUR AKTIFIS

Karir politiknya dimulai dengan menapak sebagai aktifis mahasiswa, pemuda dan organisasi kemasyarakatan. Semasa mahasiswa berhasil duduk sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 1987-1989. Di kampus yang sama, ia juga menjadi salah satu pendiri Koperasi Mahasiswa.

Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sempat menjabat sebagai Ketua PB HMI periode 1990-1992. Selain aktif di HMI, juga di Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI), Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Asian Council for Religion and Peace (ACRP) dan Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC).

Perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini mantap memilih PPP sejak tahun 1992, pernah menjadi Sekretaris Pengurus Harian Pusat di partai ini dan saat ini duduk sebagai anggota Majelis Pakar DPP PPP .

KARIR

Karir pekerjaan ibu tiga anak ini diawali dengan menjadi Dosen di almamaternya pada tahun 1989-1991. Di penghujung tahun 1991, ia menjadi konsultan pengembangan kawasan terpadu, proyek yang dibiayai Bank Dunia, di Departemen Dalam Negeri. Pekerjaan sebagai konsultan dijalankan sampai tahun 2002, selanjutnya bekerja sebagai Tenaga Ahli Menteri Koperasi dan UKM hingga tahun 2004.

MOTIVASI MENJADI ANGGOTA DPR RI

Pengalaman organisasi dan perjalanan karir istri dari seorang dokter ini, menumbuhkan kesadarannya untuk ikut memperbaiki nasib rakyat dengan jalan terlibat secara aktif menciptakan tata pemerintahan yang bersih. Atas dukungan masyarakat Jakarta pada Pemilu 2004 lalu, terpilih sebagai anggota DPR RI dari PPP. Di lembaga ini bergabung ke Komisi 2 yang menangani bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Pertanahan.

Selama duduk sebagai anggota Komisi 2, mantan anggota MPR RI tahun 1997-1999, menunjukkan komitmen dan keberpihakannya kepada masyarakat dengan menjalankan fungsi-fungsi sebagai anggota dewan dengan sebaik-baiknya. Merasakan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan di parlemen yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, maka ia memutuskan untuk kembali maju sebagai calon anggota legislatif di daerah pemilihan DKI 2 pada Pemilu 2009 yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009.


TAGLINE

“KOMPETEN DAN BERDEDIKASI”




KOMITMEN LENA MARYANA:


1. Berjuang bagi terciptanya pemerintahan yang bersih, dimulai dari diri sendiri untuk menjalankan tugas sebagaimana yang diamanahkan undang-undang.

2. Menjalankan fungsi sebagai anggota DPR RI yaitu pembentukan undang-undang, penyusunan anggaran dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dengan mengutamakan prinsip kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

3. Mendorong segera diimplementasikannya Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan murah dan terjangkau.

4. Mengontrol anggaran pendidikan yang telah dialokasikan oleh negara sebesar 20% agar diutamakan bagi peningkatan kualitas anak didik dan tenaga pendidik.

5. Sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan, tetap berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan dan keterwakilan perempuan di parlemen.

6. Mendorong Amandemen UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, untuk memperjuangkan kejelasan nasib tenaga kontrak dan upah pekerja.

7. Perlindungan hukum khususnya bagi TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, dengan melakukan kerja sama dan kesepakatan hukum dengan negara tujuan sehingga menjamin perlindungan hukum bagi TKI/TKW dan anggota keluarganya.

Riwayat Pendidikan dan Pengabdian


v Pendidikan:
Ø SDN 01 Karet Tengsin, Jakarta, Lulus 1975
Ø SMPN 40 Jakarta, Lulus 1978
Ø SMAN 24 Jakarta, Lulus 1981
Ø Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Lulus 1989

v Pekerjaan:
Ø Anggota Komisi Pemerintahan, Otonomi, Aparatur dan Pertanahan DPR RI, Periode 2004-2009
Ø Tenaga Ahli Menteri, Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2001-2004
Ø Resource Assistant, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1996-2001
Ø Anggota MPR RI, Periode 1997-1999
Ø Senior Management Administrator, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1991-1996
Ø Dosen Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989-1991

v Organisasi:
Ø Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Ketua Umum, 1987-1989
Ø Koperasi Mahasiswa (Kopma) IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Pendiri, 1987
Ø Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ketua PB HMI, 1990-1992
Ø Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Anggota Departemen Luar Negeri, 1993-1996
Ø Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), DPP KNPI, Anggota Hubungan Luar Negeri, 1993-1996
Ø Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Wakil Ketua Departemen DPP PPP, 1993-2003
Ø Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Ketua, 1998-2008
Ø Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), 2001-2006
Ø Indonesian Committee for Religion and Peace (ICRP), Ketua Harian, 2002-2005
Ø Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Executive Committee, Women’s Wing, 2002-2005
Ø Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Ketua Pengurus Pusat, 2002-2012
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Sekretaris PHP DPP PPP, 2003-2007
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Anggota Majelis Pakar, 2007-2012
Ø Parlemen Negara-negara OKI (Parliamentary Union of the OIC Member States/PUIC), Anggota Specialized Standing Committee, 2008-2010
v Kursus/Training:
Ø ASEAN Youth Leadership Training, Menpora dan Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Ø Kursus Singkat Sosial-Ekonomi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS), Jakarta, 1991
Ø International Visitor Program, Training on Democratization, USIS, Amerika Serikat, 1994
Ø Student Leadership Training, HITACHI, Singapore, 1996
Ø Training on Various Topics, The Sydney Ethic Center, Malaysia, 1996, 1997, 1998, 1999
Ø Comparative Analysis Political Studies, IRI, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, 2000
Ø Political Party Development Program (PDP), Center for Democratic Institution (CDI), Australia, 2007
Ø House of Democratic Assistance Commission (HDAC) Program, Washington D.C., AS, 2008


v Seminar/Workshop/Others:
Ø Seminar on Youth and 21st Century Challenges, JICA, Jakarta, 1988
Ø Seminar on Young Parliamentarian, Malaysia, 1991
Ø Seminar, Regional Islamic Scholar in Southeast Asia and Pacific (RISEAP), Singapore 1992
Ø Workshop and General Assembly, World Assembly Muslim Youth (WAMY), Malaysia, 1993
Ø Youth Exchange, Australian Political Exchange Council (APEC), Australia, 1994
Ø Meeting with Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, 2001
Ø Trade Mission, Paris dan London, 2001
Ø General Assembly, Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Yogyakarta, 2002
Ø Trade Mission, China, 2002
Ø Seminar on Business, Helsinki, Finland, 2002
Ø Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Meeting, Acapulco, Mexico, 2002
Ø Trade Mission, Hungaria dan Bulgaria, 2003
Ø Friendly Visit, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura, 2006
Ø General Assembly, International Parliamentary Union, Geneva, Swiss, 2006
Ø Study Comparative on Capital City Management, Bangkok, Thailand, 2007
Ø Asian Parliamentary Association Meeting, Tehran, Iran, 2007
Ø Study on Spatial Planning Management, Australia, 2007
Ø Study on Management of Local Government and Public Services, Athena (Yunani), 2007

Ø Seminar on Democracy, Bangkok, Thailand, 2008
Ø Seminar on Special Theme, European Commission, Manila, 2008
Ø General Assembly, Asean Parliamentary Association, Singapura, 2008
Ø Seminar on Democracy, Baku, Azerbaijan, 2008
Ø Kunjungan Grup Kerjasama Bilateral Antar Parlemen, Portugal, 2008
Ø Study comparative on Local Government, Apparatus and Land Reform, Cape Town, Afrika Selatan, 2008
Ø Conference, Parliamentary Union the OIC Member State (PUIC), Niamey, Niger, 2009

Senin, 09 Februari 2009

KEKOSONGAN HUKUM PASCA PUTUSAN MK

Kompas, Senin 9 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Pembatalan Pasal 214 Undang-undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD oleh Mahkamah Konstitusi membuat terjadi kekosongan hukum, yang harus segera diisi dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Tanpa perpu, tak akan ada kepastian hukum untuk semua pihak, terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Demikian benang merah pendapat mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Ramlan Surbakti, pengamat politik, J Kristiadi, dosen fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, ahli Hukum Tata Negara Satya Arinanto, dan anggota KPU, Andi Nurpati, dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Kemitraan di Jakarta, akhir pekan lalu
“Pembatalan Pasal 214 tak hanya menyangkut hilangnya roh afirmasi, tetapi terutama terkait dengan keselamatan negara karena akan terjadi kekacauan hukum, ujar Kristiadi.

Lena Maryana, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, menambahkan, hilangnya Pasal 214 itu membuat 19 pasal lainnya dalam UU No 10/2008 kehilangan makna.

“Artinya, MK membatalkan pasal yang tidak digugat oleh siapapun, “kata Ramlan.

SEGERA REVISI
Untuk menjamin kepastian hukum, Presiden dan DPR harus segera merevisi UU No 10/2008 karena MK mengatakan, Pasal 55 Ayat 2, setiap tiga calon sekurang-kurangnya satu perempuan, tidak bertentangan dengan UUD. Pasal tersebut hanya akan mencapai tujuannya jika diterjemahkan dalam rumusan pengganti Pasal 214.
Revisi UU No 10/2008 harus dapat mengadopsi putusan MK. Ramlan, Kristiadi, dan Satya sepakat bahwa perpu harus segera dibuat Pemerintah dan disetujui DPR.
Menurut Ramlan, jika pemerintah dan DPR belum melakukan, KPU tak terikat melaksanakan putusan MK sebab belum menjadi dasar hukum. “Alasan kedua berkaitan dengan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, “lanjutnya.
JIka tidak direvisi, akan terjadi ketidakpastian hukum berbentuk pertentangan penafsiran dasar hukum.

Jumat, 06 Februari 2009

KPU MERASA TAK PERLU PERPU

Kompas, Selasa 3 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum menyepakati untuk menetapkan salah satu calon anggota DPR atau DPRD terpilih dari tiga calon terpilih untuk setiap partai politik per daerah pemilihan diberikan kepada calon anggota legislatif perempuan.

Komisi Pemilihan Umum merasa berhak menetapkan kebijakan afirmatif itu tanpa memerlukan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Anggota KPU, Andi Nurpati, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR Jakarta, Senin (2/2), mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya membatalkan Pasal 214 Undang-undamg (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sesuai dengan Pasal 213 UU No 10/2008, KPU berhak menetapkan calon terpilih untuk lembaga legislatif sesuai tingkatan.

KPU sudah menyurati MK, dan MK mengatakan bahwa KPU bisa mengatur penetapan calon terpilih berdasarkan Pasal 213, tanpa perlu menunggu revisi UU maupun perpu, kata Nurpati.

Komisioner KPU menyepakati kebijakan afirmatif bagi perempuan karena menilai pembatalan Pasal 214 UU No 10/2008 membuat ruh UU Pemilu hilang. Penetapan satu caleg perempuan diantara tiga caleg terpilih dari satu parpol untuk tetap menyelaraskan penentuan caleg terpilih dengan sistem pemilu yang dianut, yaitu proporsional terbuka terbatas.

Nurpati menambahkan bahwa kesepakatan komisioner KPU itu juga selaras dengan Pasal 28H Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. KPU tak membuat aturan yang mengada-ada dalam penentuan calon terpilih, tetapi meneruskan UUD 1945, ujarnya.

Terbelah
Menanggapi keputusan KPU tersebut, sikap anggota Komisi II DPR terpecah. Anggota pria umumnya menolak usulan itu. Sebaliknya, anggota perempuan mendukung rencana KPU itu.

“Saya mendukung keputusan KPU karena dalam amar keputusan MK tak ada yang menyebut penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak, hanya disebut dalam konklusi dan pertimbangan hakim. KPU punya hak mengeksekusi dengan membuat aturan penentuan calon terpilih, tak perlu perpu, kata Lena Maryana Mukti dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP).

Selasa, 27 Januari 2009

Govet Backs KPU's Women Quota

Jakarta Globe
Rabu, 14 Januari 2009


The general Elections Commision said on Monday that now that is has the goverment's support, its plans to goverment's support, it plans to stand firm on its a proposal that a goverment regulation-in-lieu of law be issued its ensure that a minimum number of women are elected in the national legislative elections on April 9.
State Minister for Women's Empowerment Meutia Hatta said on Monday that regulation would provide a legal basis for the commision, or KPU, to proceed with its plans to support female candidates.
"We have understand that this affirmative action, "Meutia said. "The Constitutional Court verdict was a step backward for affimative action, but we hope this move by the KPU will work."
Last month, the court struck down an article in the election law to establish a majority-vote situation, under which succesfull candidates would be elected based on ranks set by their on parties.
Previously, the KPU had maintened a system that guaranteed at least one female candidate, to ensure that women would occupy at least a third of the seats in the House of Representatif.
The Constitutional Court dismissed this article, however. On Monday, the KPU said that proposed new regulation would insure that even if a party only presented two candidates, on of them would still be a woman.
In previous elections, most parties only gained two seats in each election area. The new proposal, therefore, would ensure that women occupy at least 30 percent ot seats in the House.
Meutia said the new proposal should be more effective in establishing gender equality and fairnessn in the political proces.
Abdul Hafiz Anshary, the KPU's chairman, said on Monday that the proposal needed the support of women's right activists and politicsian to pass. "Please back this plan, so the House will approve it," Hafiz said.
Lena Maryana, a United Development Party, or PPP, member in the House, said she supported the plan. "This is special because women have been marginalized," she said. "Women have limited resourses compared to men, making it difficult to compete.
Hafiz said that because the regulation-in-lieu-of law would only be valid for three months, the KPU was also planning to issue its own regulation on the quota idea this week. This was because the election results won't actually be announced untill Mei 9, aafter the elections and more than three months from now.
"If house members approve the goverment-sponsored regulation-in-lieu-of-law, it will al ready be invalid when most of the vote counting occurs, "Hafiz said.
"So we have already drafted our own regulation and will inform political parties of it(on Jan 24.
Ganjar Pranowo, a House member from the Indonesian Democratic Party of struggle, or PDI-P, said the KPU is not a regulatory body. "It should not create laws,' he said.
"Only the House and the goverment can issue laws.

Minggu, 25 Januari 2009

CALEG PASTI PUTAR OTAK………….

LENA MARYANA
Rakyat Merdeka, 18 Januari 2009


Sejauh mana Anda melihat kinerja Panwaslu dalam mengawasi kampanye caleg?
Sejauh ini Panwaslu saya lihat sudah maksimal dalam melakukan fungsi pengawasannya, meski dukungan administrasi, fasilitas dan anggarannya tidak memadai.

Seperti apa bentuknya?
Ya misalnya, Panwaslu di tingkat provinsi, kabupaten, kota belum di dukung tenaga sekretariat, rendahnya tingkat honorarium dan yang lainnya.

Berarti peluang pelanggaran caleg dalam kampanye cukup besar?
Peluang itu pasti ada. Maka itu, KPU dan Banwaslu harus duduk bersama merumuskan peraturan atau merevisi peraturan KPU, tentang pengawasan berkampanye. Putusan MK yang menyatakan pada pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang penentuan calon terpilih tidak mengikat secara ukum membbutat suasana kampanye di lapangan akan sangat ramai. Masing-masing caleg pasti akan memeras otak bahkan menempuh cara-cara illegal, baik secara halus maupun kasar untk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya.

Jadi KPU dan Banwaslu perlu merumuskan peraturan baaru untk memperkuat peran dar Panwaslu?
Itu yang harus dilakukan. Dan isi aturan itu nantinya melarang caleg membagikan merchandise, sembako dan menggunakan asuransi sebagai iming-iming untuk memlih seorang caleg. Dalam peraturan tersebut harus dituangkan secara rinci bahwa kampanye harus dilakukan sebagai bagian dari pendidikan politik bukan dengan money politic.

Apakah Anda pernah berurusan dengan Panwaslu?
Selama melakukan sosialisasi misi dan visi saya tidak pernah terbentur dengan peraturan dan pengawasan yang dibuat Panwaslu, karena saya tahu persis pentingnya arti pendidikan politik bagi masyarakat. Yang terutama saya lakukan adalah mendidik masyarakat untuk menghargai hak pilihnya dan datang ke TPS pada 9 April nanti..FIK

Jumat, 23 Januari 2009

BERKAMPANYE DENGAN TEKNOLOGI

Republika, Kamis 22 Januari 2009

Anda seorang calon legislatif?
Sudahkan anda memanfaatkan teknologi untuk berkampanye?

Pertanyaan ini sepertinya berkesan meledek para caleg. Tapi kalau dimaknai lebih jauh, pernyataan ini sebenarnya saran yang lumayan bagus. Berkampanye menggunakan teknologi, seperti internet, ternyata memberi kemudahan dan murah.
Sepeti halnya yang dilakukan caleg PPP nomor urut 2 untuk daerah pemilihan Jakarta 2(Dapil)II DKI Jakarta, Lena Maryana. Caleg yang saat ini menjadi anggota Komisi II DPR ini, mencoba mengoptimalkan internet sebagai alat kampanye.
"Saya mencoba melakukan perbaikan dan menambah strategi kampanye. Jadi tidak sekedar dengan cara konvensional," kata Lena.
Kampanye menggunakan poster, stiker, dan spanduk sudah tidak jaman lagi. Dia menilai, masyarakat sebagai pemilih sudah semakin cerdas, sehingga setiap caleg perlu mengembangkan inovasi dalam berkampanye.
Setiap caleg, ungkapnya, perlu menjalin komunikasi yang kuat dengan konstituennya. Dengan alasan itulah, Lena membuat sebuah blog dan account Facebook. Ini dijadikan sebagai media berinteraksi dengan masyarakat.
"Langkah itu cukup membantu dalam membangun komunikasi dena konstituen di luar negeri," kata Lena. Pemilih di luar negeri menjadi pilihan Lena, karena suara masyarakat Indonesia di luar negeri, masuknya ke Dapil II DKI Jakarta.
Lena memiliki blog dengan alamat http:lemaryana.blogspot.com dan account facebook dengan alamat email lmukti@yahoo.com.
Banyak masyarakat yang mengajukan pertanyaan, dukungan, bahkan kritik." kata Lena.
Internet digunakan Lena untuk membidik massa kelas menengah dan luar negeri. Tapi untuk menggaet pemilih dalam negeri, Lena tetap rajin mengunjungi konstituennya. "Saya juga mengunjungi pasar tradisional," katanya.
Diungkapkan Lena, berlakunya ketentuan penetapan caleg terbanyak, mendorongnya untuk rajin melakukan sosialisasi. Putusan MK itu bukan menciptakan persaingan, melainkan bagaimana masing-masing kandidat menggarap daerahnya. Inilah salah satu langkah yang perlu dilakukan. Sosialisasi pemilu tentunya denga cara konvensional, kata Lena.
Dengan cara terjun langsung ke masyarakat, maka calon pemilih menyadari bagaimana caranya menyampaikan hak politiknya. Mereka juga bisa membuka mata terhadap wakil-wakil rakyat yang dipilihnya. "Saya tak perlu iklan pasang baliho besar-besar," kata perempuan asli Betawi di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat ini.
Jika ingin mendapatkan dukungan rakyat, menurut Lena langkah yang harus dilakukan bukan dengan cara membeli suara, menyogok, politik uang, memberi bingkisan, dan cara-cara sejenisnya. Langkah yang diperlukan adalah mendatangi kantong-kantong masyarakat dapilnya.
Bicara langsung tentang bagaimana seorang wakil rakyat itu duduk di dewan dan menjelaskan hak publik dalam politik," ungkapnya.
Hak politik dari publik inilah, sambung Lena, yang tak bisa direnggut dari mereka dengan cara-cara tak adil. Hak ini pulalah yang tak bisa digantikan oleh bingkisan, kado, dan sebagainya.
Lena mengharapkan masyarakat bisa memilih caleg berdasarkan kompetensinya. Pertimbangan memilih jangan hanya didasarkan karena artis atau orang terkenal.
Lena mengaku tidak gentar mmenghadapi maraknya persaingan dalam pemilu ini. "Masing--masing punya akses dan latar belakang yang berbeda..ikh/wed

Kamis, 22 Januari 2009

PEREMPUAN HARUS TURUN KE LAPANGAN

Kompas, 22 januari 2009

Kalau dianggap kontroversi, toh semua
produk hukum saat ini semuanya bisa ditantang
dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi

Sistem Pemilu yang menerapkan suara terbanyak saat ini harus dihadapi dengan kerja keras dan keberanian untuk terjun ke lapangan di setiap daerah pemilihan.
Selain itu, kalangan perempuan yang didukung para aktifis perempuan bisa mengajukan berbagai upaya hukum untuk langkah lain agar keterwakilan perempuan di parlemen dapat meningkat.
Hal itu dapat disampaikan anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Lena Maryanan Mukti, dalam dialog publik "Representasi Perempuan Pasca-Uji Materi", di Jakarta, Rabu (21/1). "Bagi saya, tidak ada cara lain, perempuan harus mau terjun ke daerah yang bukan hanya sudah becek, melainkan banjir ini dengan sekuat tenaga. Mari kita buktikan, meskipun tetap harus waspada dengan beyond power yang sudah menunggu di tikungan,"ujarnya.
Sebagai langkah praktis, menurut Lena, KPU sebetulnya bisa membuat aturan senidir, tanpa perlu menunggu perpu yang prosesnya membutuhkan waktu lama. KPU bisa membuat aturan sendiri, setiap tiga kursi yang diperoleh parpol, salah satunya diberikan kepada caleg perempuan.
"Katakan saja itu sebagai bagaian dari kesatuan keputusan MK. Kalau dianggap kontroversi, toh semua produk hukum saat ini semuanya bisa ditantang dan dibawa ke Mahkamah Konstitusi,"ujarnya.
Langkah affirmative ini , menurut Lena, bukan hanya untuk perempuan, bisa saja di satu dapil ketiga terbanyak adalah wanita. Kalau ini kondisinya, harus add prianya. Meskipun dalam kenyataannya, tidak banyak partai yang bisa memperoleh tiga kursi di satu daerah pemilihan. Mungkin hanya partai besar saja, seperti PDI-P di Bali dan Golkar di Sulawesi Selatan, ujarnya.

SADARI DENGAN PENDIDIKAN POLITK

CALEG BICARA
LENA MARYANA MUKTI

Warta kota, 13 Januari 2009

Berbekal pengetahuan dan ilmu dari dalam maupun dari luar negeri, belum membuat Lena Maryana Mukti yakin bakal mendapat suara terbanyak dari masyarakat Jakarta. Hal itu kata dia karena masih sedikitnya masyarakat yang tahu tentang politik.
Untuk itu, setiap berkampanye, Lena mengaku tak cuma menyampaikan visi dan misinya sebagai caleg DPR nomor urut 2 Dapil Jakarta II (Jakart Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri)dari Partai Persatuan Pembangunan. Dia juga memberikan pendidikan politik kepada konstituen dan masyarakat yang ditemuinya.
"Untuk memilih mereka(pemilih) harus tahu siapa orang yang kompeten. Jangan hanya disodori sembako dan uang, baru mau memilih parpol atau caleg tertentu. Saya sarankan dalam memilih jangan hanya melihat pertimbangan personal saja tapi harus melihat kompetensi dan dedikasi caleg tersebut," ujar Lena saat dihibungi Warta Kota, Senin(12/1).
Menurut Lena, pendidikan politik itu akan membuka pikiran masyarakat mengenai situasi dan kondisi parlemen dan bangsa. "Saya peduli kepada rakyat yang cerdas melakukan pilihan. Soal nanti saya terpilih atau tidak, itu bukan sesuatu yang utama. Rakyat harusnya juga mencari tahu track record kandidat yang bersangkutan," ujar ibu tiga anak ini.
Untuk mendekatkan diri kepada konstituennya, Lena juga membentuk komunitas dan bersilaturahmi dengan kelompok-kelompok masyarakat. "Saya lahir dan besar di Tanah Abang, maka saya dengan mudah menjangkau mereka. Paling tidak mereka sudah tahu sepak terjang saya selama ini,"ungkap anggota Komisi II DPR ini. Meski sebagai caleg perempuan, Lena mengaku tidak sulit masuk ke dalam komunitas yang heterogen.
Dia sangat menyayangkan sikap Menteri Negara Pemberdayaan perempuan, Mutia Hatta yang belum maksimal mendorong kaum perempuan untuk menjadi caleg agar keterwakilan kaum Hawa di DPR mencapai 30 persen. Misalnya kata Lena, sosialisasi tentang kampanye yang benar dan efisien dalam mengelola dana kampanye." Untuk mencari affirmative action 30 persen, jangan hanya melakukan terobosan hukum. Karena yang paling efektif adalah dengan membantu caleg perempuan berpotensi," ujarnya.

Rabu, 21 Januari 2009

Hak Perempuan dalam Pemilu Perlu di Dengar

Media Indonesia, 21 Januari 2009

Anggota Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan menyatakan penetapan satu perempuan dari setiap tiga caleg terpilih(zipper system) bukan merupakan upaya pemberian 'jabatan' cuma-cuma kepada caleg perempuan. Hal itu merupakan upaya penyelamatan terhadap strategi semangat affirmative action yang menjadi konsensus politik di parlemen.
Menurut Lena, ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 214 UU Pemilu, secara otomatis konstruksi UU Pemilu yang awalnya adalah proporsional terbuka terbatas menjadi proporsional terbuka murni.
Dengan demikian, affirmative action tidak memiliki arti lagi. Padahal affirmative action diberikan sebagai tindakan khusus sementara untuk menyamakan start bagi kaum perempuan dalam mengisi posisi di parlemen.

Keputusan MK merugikan Posisi Caleg Perempuan

Undang-Undang Pemilihan Umum
Kuota 30 Persen Perempuan Jadi Tak Berarti
Keputusan Mahkamah Konstitusi dapat merugikan posisi calon anggota legislatif perempuan.
Rabu, 24 Desember 2008, 11:36 WIB
Siswanto, Anggi Kusumadewi



VIVAnews – Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lena Maryana, mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat merugikan posisi calon anggota legislatif perempuan.
“Calon perempuan harus mengantisipai keputusan itu. Jangan sampai mengancam keterwakilan mereka di parlemen,” kata Lena Maryana di parlemen Senayan, Rabu 24 Desember 2008. Lena adalah anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu sebelum disahkan menjadi UU Pemilu.
Mahkamah menghapus penerapan pemilihan calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut. Selanjutnya mengganti dengan mekanisme suara terbanyak. Artinya, hanya kandidat yang meraih dukungan publik paling banyak yang dapat menjadi wakil rakyat pada pemilihan legislatif 2009. Mahkamah memutuskan pembatalan salah satu pasal Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum itu Selasa 23 Desember 2008.
Calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan II DKI Jakarta itu mengatakan penyusunan UU Pemilu Nomor 20 tahun 2008 mengacu pada sistem proporsional. Artinya, kata dia, anggota legislator dipilih berdasarkan nomor urut.
Lena mengatakan UU itu juga disusun dengan memasukkan kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen yang mengacu pada nomor urut. Dengan begitu, kata Lena, calon-calon perempuan aman dan berpeluang besar masuk parlemen.
Itu sebabnya, kata Lena, keputusan pembatalan sistem nomor urut itu,, mengancam posisi perempuan yang sudah aman. “Sekarang calon-calon perempuan harus bersiap-siap dengan strategi apapun asal keterwakilan di perlemen bisa meningkat lebih banyak,” kata Lena.Keputusan MK itu, kata Lena, mengakibatkan situasi dilematis bagi calon perempuan. Karena itu, Lena mengimbau calon-calon perempuan melakukan pertemuan bersama untuk mencari jalan keluar setelah terjadi perubahan mekanisme pemilihan itu.
• VIVAnews

Kamis, 15 Januari 2009

PANDANGAN SINGKAT LENA MARYANA MENGENAI KONDISI BANGSA SAAT INI

Memasuki usia 10 tahun reformasi, bangsa Indonesia masih dihadapkan pada pergulatan untuk keluar dari kemiskinan dan keterpurukan di berbagai bidang. Peran tiga cabang kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif dinilai masih jauh dari harapan masyarakat dalam menjawab persoalan-persoalan kebangsaan terutama dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Indeks pembangunan manusia (human index development) Indonesia masih menempati urutan ke 111 dari 177 negara. Seharusnya dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, Indonesia berada sejajar dengan negara-negara maju di kawasan Asia.

Komitmen kebangsaan menuju negara yang menjamin terselenggaranya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia juga semakin jauh jika melihat realita di masyarakat. Hal ini tampak pada tidak terjangkaunya pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, semakin mahalnya biaya kesehatan, dan ketidaktersediaan kebutuhan pokok bagi masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip dan filosofi negara kesejahteraan (welfare state) juga semakin mengarah pada negara yang kehilangan identitas dan karakter bangsa (nation character) karena hukum normatif tidak dijunjung tinggi. Sedangkan hukum positif yang ada tidak benar-benar dijalankan secara bertanggungjawab, akibatnya wajah peradilan Indonesia carut marut dan sering kali mengusik rasa keadilan masyarakat.

Realita di atas sangat tampak jelas di hadapan kita, sehingga sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan mencintai negeri ini, saya terpanggil untuk terus berjuang dan berusaha seoptimal mungkin mencapai cita-cita luhur bangsa ini.

Perjuangan lewat parlemen dengan menjalankan fungsi pembentukan undang-undang, penyusunan anggaran dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan di negeri ini adalah komitmen saya yang ditujukan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya itu, sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan, saya juga tetap berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan dan keterwakilan perempuan di parlemen.

Wassalam,
LENA MARYANA

Tentang Lena Maryana

Lahir di Jakarta, 22 Desember 1962, anak ke-2 dari sepuluh bersaudara pasangan betawi asli H. Muhammad Mukti Emir yang pensiunan pegawai Pemda DKI dan Hj. Suroya dikenal aktif sebagai aktifis organisasi kemasyarakatan pemuda dan mahasiswa.

Aktifitas organisasi yang menonjol antara lain adalah sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang dikenal sebagai Universitas Islam Negeri Jakarta) dari tahun 1987-1989. Di kampus yang sama, ia juga menjadi salah satu pendiri Koperasi Mahasiswa IAIN, tahun 1987.

Semasa kuliah, perempuan berkerudung ini aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), terakhir sebagai Ketua PB HMI periode 1990-1992. Selain aktif di HMI, juga di Kongres Wanita Indonesia (KOWANI, 1993-1996), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI, 1993-1999), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI, 2001-2006), Indonesian Committee for Religion and Peace (ICRP, 2002-2005), Asian Council for Religion and Peace (ACRP, 2002-2005) dan Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI, 1998-2008) dan Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi 2002-2012).

Menjadi fungsionaris Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) dilakoni sejak tahun 1992. Ketika kawan sesama alumni HMI bergabung ke golongan dan partai lain, perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini mantap memilih PPP karena platform partai yang mengedepankan “amar ma’ruf nahi munkar”. Selanjutnya pada Muktamar ke-5 PPP, Mei 2003 ia terpilih menjadi salah seorang Sekretaris Pengurus Harian Pusat DPP PPP yang dijabatnya sampai Februari 2007. Saat ini ia sebagai anggota Majelis Pakar DPP PPP (2007-2012).

Selain menjadi aktifis, ibu tiga anak ini juga pernah menjadi Dosen di almamaternya dari tahun 1989-1991. Di penghujung tahun 1991, ia menjadi Senior Management Administrator dan Recource Assistant proyek pengembangan kawasan terpadu di Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri (Ditjen Bangda Depdagri) yang dibiayai Bank Dunia. Pekerjaan sebagai konsultan dijalankan sampai tahun 2002, karena di tahun yang sama diberi kepercayaan sebagai Tenaga Ahli Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang dijabat sampai tahun 2004.

Sebagai aktifis dan konsultan, telah mengantarkan istri dari seorang dokter ini melawat ke negara-negara di lima benua untuk melihat langsung praktek penyelenggaraan negara dan demokrasi di negara yang dikunjungi, antara lain Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara di Eropa dan Asia. Dengan pengalamannya yang cukup sebagai aktifis dan pekerjaannya sebagai konsultan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat termasuk petani dan nelayan serta
perjalanannya ke manca negara menumbuhkan kesadarannya untuk ikut memperbaiki nasib rakyat yang kurang beruntung dan ikut menciptakan “good and clean governance”.

Setelah menjadi anggota MPR RI tahun 1997-1999, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, ‘Kak Lena’ begitu ia biasa dipanggil para yuniornya ini memutuskan sementara mengamati kiprah legislatif, eksekutif dan yudikatif yang ternyata belum mampu menawarkan solusi terbaik atas keterpurukan ekonomi dan krisis multi dimensi hasil ketidakbecusan rezim Orde Baru mengelola potensi bangsa.
Atas dasar keprihatinan yang mendalam dan rasa tanggungjawab sebagai warga bangsa dan didukung oleh keluarga besar termasuk suami tercinta, dr. Abraham Andi Padlan Patarai, MKes dan ketiga putra-putri tercinta Achmad Raihan Padlan Patarai, Achmad Gibran Padlan Patarai, dan Adinda Nurul Ramadhani Padlan Patarai maka pada Pemilu 2004 lalu, perempuan yang sangat peduli dengan kaderisasi ini memutuskan untuk maju memperebutkan kursi di parlemen melalui pencalonan anggota legislatif untuk DPR RI dari PPP Daerah Pemilihan DKI 1. Berkat kerja keras dan dukungan dari keluarga dan berbagai kalangan, ia berhasil duduk sebagai anggota DPR RI yang dijabatnya dari tahun 2006 sampai sekarang. Perempuan enerjik ini bergabung ke Komisi 2 yang menangani bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Pertanahan.

Selama menjabat sebagai anggota Komisi 2, perempuan dengan semangat menyala ini menunjukkan komitmen dan keberpihakannya kepada masyarakat dengan menjalankan fungsi pengawasan, legislasi dan budgeting dengan sebaik-baiknya. Ia merasakan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki di parlemen sehingga ia memutuskan untuk kembali maju sebagai calon anggota legislatif di daerah pemilihan DKI 2 pada Pemilu 2009 yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009. Untuk itu, sudilah kiranya Bapak, Ibu, Saudara-saudara mendukung pencalonannya dengan cara: CONTRENG NO. URUT 2 DRA. LENA MARYANA DI BAWAH TANDA GAMBAR NO. 24 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP), TANDA GAMBAR KA’BAH.

Terimakasih yang tak terhingga atas perhatian dan dukungan Bapak, Ibu dan Saudara-saudara. Insya Allah, Allah SWT meridhoi kita semua. Amiin

Wassalam,
Manajer Kampanye
Sitti Marjam Thawil, SE, MM


Riwayat Pendidikan dan Pengabdian


Pendidikan:
Ø SDN 01 Karet Tengsin, Jakarta, Lulus 1975
Ø SMPN 40 Jakarta, Lulus 1978
Ø SMAN 24 Jakarta, Lulus 1981
Ø Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Lulus 1989


Pekerjaan:
Ø Anggota Komisi Pemerintahan, Otonomi, Aparatur dan Pertanahan DPR RI, 2006-2009
Ø Tenaga Ahli Menteri, Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2001-2004
Ø Resource Assistant, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1996-2001
Ø Senior Management Administrator, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1991-1996
Ø Dosen Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989-1991

Organisasi:
Ø Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta,Ketua Umum, 1987-1989
Ø Koperasi Mahasiswa (Kopma) IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Pendiri, 1987
Ø Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ketua PB HMI, 1990-1992
Ø Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Anggota Departemen Luar Negeri, 1993-1996
Ø Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), DPP KNPI, Anggota Hubungan Luar Negeri, 1993-1996
Ø Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Wakil Ketua Departemen DPP PPP, 1993-2003
Ø Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Ketua, 1998-2008
Ø Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), 2001-2006
Ø Indonesian Committee for Religion and Peace (ICRP), Ketua Harian, 2002-2005
Ø Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Executive Committee,Women’s Wing, 2002-2005
Ø Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Ketua Pengurus Pusat, 2002-2012
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Sekretaris PHP DPP PPP, 2003-2007
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Anggota Majelis Pakar, 2007-2012
Ø Parlemen Negara-negara OKI (PUIC), Anggota Specialized Standing Committee, 2008-2009


Kursus/Training:
Ø ASEAN Youth Leadership Training, Menpora dan Universitas Indonesia,Jakarta, 1990
Ø Kursus Singkat Sosial-Ekonomi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS),Jakarta, 1991
Ø International Visitor Program, Training on Democratization, USIS,Amerika Serikat, 1994
Ø Student Leadership Training, HITACHI, Singapore, 1996
Ø Training on Various Topics, The Sydney Ethic Center, Malaysia,1996, 1997, 1998, 1999
Ø Comparative Analysis Political Studies, IRI, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, 2000
Ø Political Party Development Program (PDP), Center for Democratic Institution (CDI), Australia, 2007
Ø House of Democratic Assistance Commission (HDAC) Program,Washington D.C., AS, 2008


Seminar/Workshop/Others:
Ø Seminar on Youth and 21st Century Challenges, JICA, Jakarta, 1988
Ø Seminar on Young Parliamentarian, Malaysia, 1991
Ø Seminar, Regional Islamic Scholar in Southeast Asia and Pacific (RISEAP), Singapore 1992
Ø Workshop and General Assembly, World Assembly Muslim Youth (WAMY),Malaysia, 1993
Ø Youth Exchange, Australian Political Exchange Council (APEC), Australia, 1994
Ø Meeting with Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, 2001
Ø Trade Mission, Paris dan London, 2001
Ø General Assembly, Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Yogyakarta, 2002
Ø Trade Mission, China, 2002
Ø Seminar on Business, Helsinki, Finland, 2002
Ø Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Meeting, Acapulco, Mexico, 2002
Ø Trade Mission, Hungaria dan Bulgaria, 2003
Ø Friendly Visit, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura, 2006
Ø General Assembly, International Parliamentary Union, Geneva, Swiss, 2006
Ø Study Comparative on Capital City Management, Bangkok, Thailand, 2007
Ø Asian Parliamentary Association Meeting, Tehran, Iran, 2007
Ø Study on Spatial Planning Management, Australia, 2007
Ø Study on Management of Local Government and Public Services,Athena (Yunani), 2007
Ø Seminar on Democracy, Bangkok, Thailand, 2008
Ø Seminar on Special Theme, European Commission, Manila, 2008
Ø General Assembly, Asean Parliamentary Association, Singapura, 2008
Ø Seminar on Democracy, Baku, Azerbaijan, 2008
Ø Kunjungan Grup Kerjasama Bilateral Antar Parlemen, Portugal, 2008
Ø Study comparative on Local Government, Apparatus and Land Reform,Cape Town, Afrika Selatan 2008