Senin, 09 Februari 2009

KEKOSONGAN HUKUM PASCA PUTUSAN MK

Kompas, Senin 9 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Pembatalan Pasal 214 Undang-undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD oleh Mahkamah Konstitusi membuat terjadi kekosongan hukum, yang harus segera diisi dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Tanpa perpu, tak akan ada kepastian hukum untuk semua pihak, terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Demikian benang merah pendapat mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Ramlan Surbakti, pengamat politik, J Kristiadi, dosen fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, ahli Hukum Tata Negara Satya Arinanto, dan anggota KPU, Andi Nurpati, dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Kemitraan di Jakarta, akhir pekan lalu
“Pembatalan Pasal 214 tak hanya menyangkut hilangnya roh afirmasi, tetapi terutama terkait dengan keselamatan negara karena akan terjadi kekacauan hukum, ujar Kristiadi.

Lena Maryana, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, menambahkan, hilangnya Pasal 214 itu membuat 19 pasal lainnya dalam UU No 10/2008 kehilangan makna.

“Artinya, MK membatalkan pasal yang tidak digugat oleh siapapun, “kata Ramlan.

SEGERA REVISI
Untuk menjamin kepastian hukum, Presiden dan DPR harus segera merevisi UU No 10/2008 karena MK mengatakan, Pasal 55 Ayat 2, setiap tiga calon sekurang-kurangnya satu perempuan, tidak bertentangan dengan UUD. Pasal tersebut hanya akan mencapai tujuannya jika diterjemahkan dalam rumusan pengganti Pasal 214.
Revisi UU No 10/2008 harus dapat mengadopsi putusan MK. Ramlan, Kristiadi, dan Satya sepakat bahwa perpu harus segera dibuat Pemerintah dan disetujui DPR.
Menurut Ramlan, jika pemerintah dan DPR belum melakukan, KPU tak terikat melaksanakan putusan MK sebab belum menjadi dasar hukum. “Alasan kedua berkaitan dengan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, “lanjutnya.
JIka tidak direvisi, akan terjadi ketidakpastian hukum berbentuk pertentangan penafsiran dasar hukum.

Jumat, 06 Februari 2009

KPU MERASA TAK PERLU PERPU

Kompas, Selasa 3 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum menyepakati untuk menetapkan salah satu calon anggota DPR atau DPRD terpilih dari tiga calon terpilih untuk setiap partai politik per daerah pemilihan diberikan kepada calon anggota legislatif perempuan.

Komisi Pemilihan Umum merasa berhak menetapkan kebijakan afirmatif itu tanpa memerlukan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Anggota KPU, Andi Nurpati, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR Jakarta, Senin (2/2), mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya membatalkan Pasal 214 Undang-undamg (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sesuai dengan Pasal 213 UU No 10/2008, KPU berhak menetapkan calon terpilih untuk lembaga legislatif sesuai tingkatan.

KPU sudah menyurati MK, dan MK mengatakan bahwa KPU bisa mengatur penetapan calon terpilih berdasarkan Pasal 213, tanpa perlu menunggu revisi UU maupun perpu, kata Nurpati.

Komisioner KPU menyepakati kebijakan afirmatif bagi perempuan karena menilai pembatalan Pasal 214 UU No 10/2008 membuat ruh UU Pemilu hilang. Penetapan satu caleg perempuan diantara tiga caleg terpilih dari satu parpol untuk tetap menyelaraskan penentuan caleg terpilih dengan sistem pemilu yang dianut, yaitu proporsional terbuka terbatas.

Nurpati menambahkan bahwa kesepakatan komisioner KPU itu juga selaras dengan Pasal 28H Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. KPU tak membuat aturan yang mengada-ada dalam penentuan calon terpilih, tetapi meneruskan UUD 1945, ujarnya.

Terbelah
Menanggapi keputusan KPU tersebut, sikap anggota Komisi II DPR terpecah. Anggota pria umumnya menolak usulan itu. Sebaliknya, anggota perempuan mendukung rencana KPU itu.

“Saya mendukung keputusan KPU karena dalam amar keputusan MK tak ada yang menyebut penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak, hanya disebut dalam konklusi dan pertimbangan hakim. KPU punya hak mengeksekusi dengan membuat aturan penentuan calon terpilih, tak perlu perpu, kata Lena Maryana Mukti dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP).